Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Rabu, September 09, 2009

Bukan Cinta Adam & Hawa, Tapi Cinta Azam & Aya #2

Sejak Aya lulus, jarak dan waktu seolah begitu sulit mempertemukan Azam dan Aya kembali. Mungkin dia memang bukan untukku. Batin Aya. Mereka pun sibuk dengan aktifitas masing-masing. Aya tetap beraktivitas di Bandung sedangkan Azam kembali ke kota kelahirannya. Di tengah kesibukan sebagai wartawan di sebuah media Islami di Bandung, tiba-tiba Aya teringat akan Azam. Lima tahun setelah Aya lulus, entah mengapa Aya masih sulit melupakannya meski pernah mencoba berta’aruf dengan ikhwan lain.

Waktu itu Aya mengira kalau Azam sudah menikah. Tapi, menikah dengan siapa dan kapan nikahnya, Aya takpernah tahu. Aku hanya ingin tahu kabarnya. Batin Aya. Mumpung bulan Ramadhan, Aya mengirimkan tabloid (media kerja Aya selama ini) dan kartu ucapan lebaran. Di kartu lebaran, Aya mencantumkan nomor HP-nya dan ucapan salam untuk istri dan anak-anak Azam.

Seminggu kemudian datang SMS dari Azam, “Makasih kiriman tabloidnya. Maaf lahir batin. Salam juga buat suami dan anak-anakmu.”

Aya hanya tersenyum membaca SMS-nya. Lalu, Aya menelepon Azam, bertanya kabar, aktivitas, dsb. Suaranya tidak berubah, begitu pun gaya bicaranya.

“Gimana, salam saya sudah disampaikan belum buat istri dan anak-anak Mas?” tanya Aya.
“Belum.”
“Kenapa?”
“Karena saya belum nikah.”
Aya mengira kalau Azam bercanda. “Masak, sih. Mas kan, banyak penggemar, masak belum nikah?”
“Ya … gimana Ay, cewek sekarang banyak yang matre.”
“Nggak semua cewek matre, kali ….”

Dia tidak berkomentar lebih jauh, malah mengalihkan ke pertanyaan lain, “Salamku udah disampein juga belum buat suami dan anak-anakmu.
Aya tertawa, “Belum juga, tuh.”
“Kenapa?”
“Karena saya juga belum nikah,” jawab Aya.

Sebuah harapan baru seperti kembali membentang di hadapan Aya, tapi tetap, Aya tidak mau berharap banyak. Aya sadar, kalau harapan dan hayal dipupuk makin tinggi, maka kekecewaan sedang ditarik makin dekat. Seperti orang naik pohon kelapa, semakin tinggi naik, kalau kemudian jatuh, maka sakitnya akan lebih terasa. Berbeda kalau naiknya belum terlalu tinggi, kalau jatuh pun sakitnya tidak terlalu. Apalagi kondisi hubungan Aya dengan Azam hanya sebatas persahabatan. Mereka yang sudah menjalin komitmen sebagai sepasang kekasih pun bisa putus, yang nikah bisa cerai, apalagi Aya dan Azam yang tidak memiliki komitmen apa pun.

Aya berharap pertemuan mereka itu bisa lebih mendekatkan mereka lagi, meski hanya lewat udara. Tapi, ternyata tetap tidak ada jalan yang mulus ke arah sana. Komunikasi sering hanya searah, kalau Aya kontak dia balas, kalau tidak, kabarnya pun hilang entah kemana. Kadang Aya berpikir, "Mungkin saya sama sekali tidak pernah ada di hatinya. Duh, sedihnya.”

Biasanya, cowok tuh kalau sedang naksir sama cewek, dia getol banget ngontak cewek itu. Dia akan berusaha mencari tahu lebih banyak tentang cewek itu. Azam sudah punya nomor HP Aya, sudah tahu di mana Aya tinggal. Tapi, tidak pernah ada usaha darinya untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih dekat. Itu sudah satu pertanda kalau Aya memang takpernah ada di hati Azam.

Yah, Aya harus puas hanya sebagai sahabat. Tapi, walau bagaimana pun Aya tetap bahagia meski hanya sebagai sahabat. Toh, memang itulah status hubungan mereka dari dulu.

Mereka berdua pernah saling curhat tentang kecengan mereka masing-masing. Azam curhat tentang cewek yang sedang dia taksir, tapi kemudian ditinggal nikah. Begitu pun Aya, curhat ke Azam tentang cowok yang lagi ditaksir tapi akhirnya cowok itu memilih cewek lain. Wah, ternyata mereka senasib.

“Memangnya kenapa kamu belum nikah?” tanya Azam suatu hari kepada Aya lewat telepon.
“Hmm…gimana, yah? Sebenarnya sih, ada tiga cowok yang mau sama saya, tapi saya tolak semua,” jawab Aya enteng.
“Emang kenapa, kok, ditolak?” Azam bertanya penasaran.
“Ya …gimana lagi, cowok yang pertama ‘mau’ nampar, yang kedua ‘mau’ nendang, yang ketiga ‘mau’ muntah begitu lihat saya. Ya udah, saya tolak aja. Emang saya cewek apaan …,” canda Aya.
“Hahaha …,”Azam tertawa renyah.
Pasti awalnya dia mengira kalau Aya gadis yang sombong dan angkuh, begitu mudah dan bangganya menolak cowok. Tapi, ternyata ……

Tapi, di lain waktu, Azam membawa berita yang sempat membuat Aya sedikit syok. Azam bilang kalau dia sebenarnya sudah nikah.
“Saya sudah nikah dua minggu lalu, tolong jangan kontak saya lagi.” Begitu bunyi sms yang dikirimkan Azam untuk Aya.
Apa salah saya sehingga Azam memberi ancaman sekeras ini kepada saya? Batin Aya.

Mungkin Azam bosan karena Aya sempat beberapa kali nanya ke Azam kapan dia nikah (dengan perempuan lain tentunya) karena dia pernah bilang sedang dekat dengan seorang cewek yang sedaerah dengannya. Maksudnya biar Aya bisa menyiapkan kadonya jauh-jauh hari. Akhirnya, terlontar pernyataan seperti itu. Atau pernyataannya adalah satu cara Azam untuk menghindari Aya. Azam seolah ingin membuat dinding tebal yang menghalangi Aya untuk memasuki kehidupannya dan di dinding itu tertulis kata, “Don’t touch me”. Huhu …sedihnya.

Aya jelas merasa sakit hati, tapi itu tidak seberapa dibanding “rasa tersinggung” atas pernyataan Azam ini. Selama Aya memiliki teman cowok, baik dekat atau hanya berteman sekadarnya saja, tidak ada yang melarangnya untuk saling kontak meski mereka menikah dengan wanita lain.

“Kalau saya ini mantan pacarnya, wajar kalau Azam melarang saya untuk mengontak dia lagi karena mungkin dia ingin menjaga perasaan istrinya, khawatir istrinya cemburu. Kalau itu yang terjadi, pasti saya maklum dan tanpa disuruh pun saya akan membatasi berhubungan dengan pria beristri. Tapi, saya ini kan hanya teman biasa saja. Tidak pernah ada komitmen apa pun antara saya dan dia. Kenapa dia melarang saya mengontaknya setelah dia menikah? Pacar bisa putus ketika salah satunya harus menikah dengan yang lain. Tapi, apa pernah ada suatu persahabatan yang harus putus hanya karena salah satunya menikah duluan? Atau mungkin saya dinilai terlalu agresif sehingga dia takut saya akan mendekati dan terus mengejarnya? Oh … serendah itukah nilai diriku di matanya?” Aya masih belum bisa menjawab segala tanya yang berkecamuk di benaknya pasca mendapat kiriman sms dari Azam itu.

“Yah, kalau memang itu yang dia inginkan, baiklah, saya pun tidak akan mengontak dia lagi.” Tekad Aya sedikit geram.

Sesekali Aya masih mengirimkan sms, sekadar mengirimkan kata-kata mutiara seperti yang sering dia kirimkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain, atau sekadar sapaan ringan lainnya. Aya hanya ingin menunjukkan kepada Azam kalau dia “tidak pernah menabuh genderang permusuhan” meski mungkin Azam telah menganggapnya seperti musuh. Aya tidak ingin memiliki musuh atau bermusuhan dengan siapa pun, apalagi dengan orang yang pernah dekat dan dicintainya. Kalau toh orang yang dicintainya ternyata tidak membalas cintanya, Aya berharap bisa saling bersahabat.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, Azam meng-sms Aya kalau dia sedang berada di Bandung, di tempat kerja Aya dulu. Tapi, sayangnya waktu itu Aya sedang pulang kampung sehingga tidak bisa menemuinya.

“Wah, kecewa dong, gak bisa ketemu temen lama,” tulis Azam di sms.
Perasaan siapa, yah, yang udah ngelarang saya buat ketemu dia? Bukannya dia sendiri? Batin Aya.
“Datengnya sama istrimu, nggak?” balas sms Aya ke Azam.
“Nggak, saya bareng temen-temen kantor.”
“Wah, sayang banget. Padahal saya pengen ketemu sama istrimu.”
Sepertinya dia udah nggak marahan lagi sama saya. Semoga persahabatan kami bisa baik kembali seperti dulu. Batin Aya antara optimis dan sedikit pesimis.

Meski seperti mendapat lampu hijau untuk melanjutkan persahabatan (just to friendship), tapi bukan berarti hubungan mereka kembali akur seperti dulu. Kontak-kontakan hanya sekadarnya saja. Seperti biasa, itu pun lebih banyak dimulai dari Aya. Seolah-olah hanya Aya yang membutuhkan Azam. Hal inilah yang membuat Aya sedikit sedih, khawatir kalau sebenarnya Azam tidak mengharapkan kehadirannya sebagai sahabat. Aya sudah ikhlas melepas perasaan cintanya pada Azam, kalau memang Azam tidak mengharapkan cinta darinya. Tapi, apa untuk menjadi sahabat pun tidak bisa? Sebegitu bencikah Azam kepada saya? Batin Aya.

Dulu, waktu Aya sadar kalau dia mulai menyukai Azam, Aya sempat berharap agar Azam membenci dirinya karena Aya sadar sepertinya dirinya bukanlah tipe wanita yang diinginkan Azam. Tapi, entah mengapa sikap Azam malah sebaliknya. Dia begitu baik hingga membuatnya sulit melupakan Azam.

Namun sekarang, saat Aya ingin cinta bertumbuh di antara mereka berdua, Azam malah seperti berbalik membenci dirinya. Semua kenyataan ini membuat Aya sadar akan kenaifan dirinya selama ini. Sepuluh tahun berlalu sejak perkenalan pertama mereka, Aya masih berharap bahwa Azam masih sebaik dulu, bahkan mungkin masih menyisakan rasa cinta untuknya seperti perasaannya kepada Azam. Padahal, kenyataannya itu tidaklah mungkin terjadi. Azam kini telah memilih wanita lain untuk mengisi hatinya.
***

Dunia tulis-menulis kembali mengisi kesibukan Aya hingga terbit dua buku karyanya. Satu buku berkaitan dengan dunia wanita. Aya pun berniat memberikan buku itu untuk istrinya Azam. Aya mengontak HP Azam, ternyata tidak aktif. Berkali-kali dikontak tetap tidak aktif. Mungkin dia sudah ganti nomor HP. Rasanya nggak afdol kalau mengirimkan buku untuk istrinya Azam, sementara Aya tidak tahu siapa nama istrinya.

Setelah berfikir keras, akhirnya Aya menemukan cara untuk mendapatkan nomor kontak Azam. Dia masih mengantongi alamat sekolah bibinya Azam, alamat yang diberikan Azam waktu Aya hendak mengirimkan kado ultah untuk Azam. Melalui layanan 108, Aya bisa mendapatkan nomor telepon sekolah tersebut. Tanpa melalui kesulitan, Aya pun bisa berbincang dengan bibinya Azam melalui telepon.

“Saya temannya Azam, saya mau mengirimkan buku untuk istrinya. Tapi, saya nggak tahu siapa nama istrinya. Kalau boleh tahu, siapa ya, nama istrinya Mas Azam?” tanya Aya setelah sedikit berbasa-basi sebelumnya dengan bibinya Azam.

“Oh, Azam belum nikah,” jawab bibinya Azam.
Deg! Aya sedikit kaget. Saya dibohongi lagi nih, sama Azam. Batin Aya.
“Oh, gitu. Kirain sudah nikah.”
Akhirnya, Aya bisa mendapatkan nomor kontak Azam yang baru dari Bibinya ini. Aya pun mengontak Azam.

“Mas Azam, tadinya saya mau ngirimin buku baruku buat istri Mas. Waktu saya nanya nama istrinya Maz Azam sama Bibinya Mas, ternyata nama istri Mas belum tercantum di KUA, yah?” tanya Aya sedikit bercanda.
Terdengar tawa Azam di ujung telepon.
“Katanya Mas udah nikah dan ngelarang saya buat mengontak Mas lagi.”
“Kata siapa?” Azam pura-pura lupa.
“Kan, Mas yang bilang di sms, dulu.”
“Orang iseng kali yang ngirim, tuh,”
“Gak mungkin orang lain, sms-nya dari HP-nya Mas, kok.”
“Iya, gitu? Emang gimana bunyi sms-nya?” Azam masih pura-pura lupa.
“Ya, pokoknya gitu, deh. Intinya, Mas ngelarang saya buat ngontak karena Mas udah nikah.”
Mungkin merasa terdesak, Azam mengalihkan ke pembicaraan lain.
“Kemarin Bram nelpon ke saya, Ay.”
Rupanya Azam masih sering kontak-kontakan sama sahabat lamanya di kampus dulu. Bram, sahabat dekat Azam sekaligus teman sekabupaten Aya.
“Oh, ya? Ngobrol apaan? Lama nelponnya?”
“Cukup lama. Biasalah, obrolan teman lama,” jawab Azam tidak mau berbicara lebih spesifik.

Setelah pembicaraan itu usai, Aya meng-sms Bram.
“Kata Azam, Mas Bram kemarin telpon-telponan sama dia. Ngobrol apa aja sama Azam?”
“Ngobrol kalau dia naksir kamu,” balas Bram.
“Ah bohong. Saya nanya serius, nih,” Aya penasaran.
“Suer! Nggak percaya?!”

Akhirnya Aya nelpon langsung Bram.
“Mas Bram, saya nanya serius, nih!”
“Saya juga jawab serius, kok. Awalnya sih, ngobrol-ngobrol soal masa lalu waktu kuliah. Trus dia nanya, ‘Bram, Aya kabarnya gimana? Sudah nikah belum? Tinggal di mana dia sekarang?’ Ngapain coba dia nanyain gitu kalau dia nggak naksir kamu.”
“Masak, sih. Tapi, kenapa dia nggak pernah nelpon saya langsung? Kenapa sikapnya seperti ketus ke saya. Dia ngakunya udah nikah, terus ngelarang saya buat ngontak saya. Kata-katanya juga jarang yang bagus, sering ketus.”
“Yah … mungkin dia malu kali, Ay.”
“Malu sama saya? Emang saya pernah mempermalukan dia?”
“Ya, nggak tahu, sih, Ay.”

Aya semakin nggak ngerti dengan sikap Azam. Di depannya sikapnya nggak pernah bagus, kata-katanya sering ketus. Tapi, kenapa di belakangnya dia seperti penasaran dengan dirinya. Kalau dia memang benci dan tidak peduli lagi pada Aya, kenapa dia masih nanya-nanya kabar tentang diri Aya?

Keesokan harinya Aya sms-an dengan Azam. Tiba-tiba Azam nanya, “Aya, calon suamimu orang mana?”
Aya sempat kaget. “Tumben dia nanya gini.” Batin Aya.
“Calon suamiku ya orang Indramayu, yang lagi baca sms ini, nih. Hehehe …,” balas Aya dengan nada bercanda meski itulah keinginan dirinya yang sebenarnya.
“Jadi GR, nih. Saya nanya serius, kok dibalas bercanda gitu.”
“Saya juga serius. Emang Mas Azam mau jadi suamiku? Saya akan sangat berbahagia kalau Mas Azam mau menerima saya apa adanya sebagai istri Mas.”
“SERIUS?!”
“1000rius!” Tapi sayang, sms terakhirnya ini tidak terkirim ke HP Azam karena ternyata Aya kehabisan pulsa.

Padahal, jawaban itulah yang mungkin sangat dinanti-nantikan Azam. Tapi, kenapa pulsa Aya harus habis pada saat genting seperti itu. Kalau secara logika, hanya butuh Rp.100,00 untuk membalas sms-nya karena nomor mereka satu operator. Tapi, Rp.100,00 pun tidak ada di HP Aya.

“Ya Allah, kenapa harus terjadi seperti ini? Apa ini pertanda bahwa dia bukan jodohku?” batin Aya.

Mungkin karena lama tidak ada balasan, Azam mengirimkan sms kembali, “Maaf, Ay, saya nggak bisa. Saya sudah punya calon istri.”

Deg. Sebuah jawaban yang mengejutkan, membuat Aya merasa seperti diombang-ambingkan. Padahal, tadinya Aya berharap Azam akan balik meneleponnya begitu sms-nya lama takberbalas. Tapi, justru jawaban menyakitkan itu yang harus diterima Aya.

Tiga hari kemudian, setelah Aya mengisi pulsa kembali, dia menelepon Azam. Obrolan terasa kaku, tidak seperti biasanya. Aya meminta maaf kepada Azam kalau kemarin tidak bisa membalas sms terakhirnya karena pulsanya benar-benar habis. Tapi, mungkin Azam tidak percaya. Azam sepertinya marah banget. Aya pun menanyakan kebenaran pernyataan Azam yang mengatakan kalau dia sudah punya calon istri. Azam mengiyakan, tapi Aya sebenarnya tidak langsung percaya. Yah, bukan sekali ini Azam bilang kalau dia sudah punya calon istri, bahkan sudah menikah. Tapi, kenyataannya bohong. Tapi, Aya tidak mau mendesak Azam untuk mengakui hal yang sebenarnya. Aya yakin Azam punya alasan melakukan hal itu.

Kalau ditanya siapa yang kecewa, dua-duanya merasa kecewa dan tersakiti. Tapi, keadaan sepertinya sulit diperbaiki. Selain mosi tidak percaya sama-sama merasuki hati mereka, terpisahnya jarak dan waktu sekian lama juga semakin memperuncing masalah mereka. Sehingga masalah kecil/sepele jadi tampak besar.

Untuk sementara Aya hanya bisa pasrah dan mengendapkan masalah barang sejenak. Kalau menelepon lagi pada saat Azam masih emosi, sepertinya akan sulit menemukan titik temu.
***

Sebulan kemudian, saat lebaran tiba, seperti biasa Aya menelepon Azam untuk maaf-maafan. Semua masih tampak baik-baik saja seolah tidak ada masalah di antara mereka berdua. Tapi, beberapa minggu setelah itu, mereka berdua seperti musuhan kembali.

Aya membahas kembali pertanyaan Azam yang pernah dilontarkan kepadanya beberapa minggu lalu tentang siapa calon suami Aya. Jawabannya sungguh mengejutkan, Azam bilang kalau itu pertanyaan biasa, satu pertanyaan yang juga pernah ditanyakan kepada wanita lain. Hm … apa setiap sahabat wanitanya juga ditanya demikian oleh Azam? Batin Aya.

Mungkin saja Azam memang pernah merasa penasaran tentang perasaan Aya yang sebenarnya, tapi ketika dia sudah tahu jawabannya, maka hilang rasa penasarannya tanpa ada maksud lain untuk menjalin hubungan lebih lanjut. Padahal bagi wanita, pertanyaan seperti itu adalah gerbang menuju sebuah komitmen.
“Oh, jadi Mas nanya seperti itu hanya sekadar iseng?” tanya Aya sedikit kesal.
“Berarti menurut Mas, perempuan seperti saya pantas untuk diiisengin, ya Mas?” sambung Aya sambil menahan sakit hatinya.
“Ah, sudahlah, kalau gini caranya mending kita nggak usah sahabatan lagi. Percuma!” Azam tampak sangat marah. Mungkin karena dia sudah merasa terdesak.
Aya pun kesal, Seharusnya yang marah, kan saya. Kok, malah dia yang marah. Batin Aya sambil menutup telepon.

Aya sadar, tidak baik meneruskan pembicaraan pada saat lawan bicaranya dalam keadaan emosi. Aya kesal dengan sikap Azam yang seperti tidak memiliki ketegasan, Azam pun kesal dengan Aya yang mungkin tampak seperti cuek dan egois.
***
“Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk penantian sebuah cinta, ternyata harus berakhir dengan sad ending. Tapi, saya tetap bahagia, setidaknya dalam hidup saya pernah mengenal sosok sebaik Mas Azam.” Tulis Aya dalam sms untuk Azam.

Azam membalas dengan ungkapan yang agak kasar hingga membuat Aya sakit hati. Tapi, Aya mencoba untuk bersabar menyikapi semua itu. Dulu, waktu mereka masih sama-sama kuliah, Aya menemukan sosok yang sabar penuh pengertian pada diri Azam. Kadang membuat Aya berpikir, “Kok, ada ya, orang yang sesabar dan sebaik Azam. Hatinya terbuat dari apa, sih dia?” Aya nyaris tidak pernah melihat Azam marah, walau diperlakukan seperti apa pun. Dia hanya punya dua ekspresi, diam dan tersenyum. Kalau ada sikap atau perilaku yang membuatnya merasa tidak berkenan, dia hanya diam. Tapi, lebih sering tersenyum. Aya sampai merasa penasaran ingin melihat marahnya Azam hingga pernah mencoba membuat Azam marah dengan beberapa cara, tapi tidak pernah berhasil. Sekarang, saat Aya tidak ingin melihat kemarahan Azam, justru Azam marah karena dirinya. Oh….

Kalau dulu dia begitu sabar menghadapi saya, mungkin saatnya saya sekarang yang herus bersabar menghadapi dia. Batin Aya.

Sebenarya tidak masalah kalau memang Azam tidak mencintai Aya. Aya sadar, cinta memang tidak bisa dipaksakan. Aya hanya tidak ingin persahabatannya dengan Azam harus berakhir dengan saling membenci. Aya pernah menanyakan perihal Azam kepada Bram, sahabat dekatnya via telepon.

“Mas Bram, sebagai sesama cowok sekaligus sahabat dekatnya, sebenarnya gimana, sih, perasaan Azam sama saya?” tanya Aya.
“Setahu saya sih, dia suka sama kamu, Ay.”
“Apa buktinya?”
“Setiap saya ngobrol sama dia lewat telepon, dia yang selalu memulai pembicaraan tentang kamu, Ay. Kalo dia nggak suka, ngapain juga dia nanya-nanya kabar kamu,” papar Bram.
“Tapi, kenapa sikapnya ke saya, kok sangat tidak bersahabat?”
“Nggak tahu juga, sih. Dulu waktu di kampus, dia juga pernah naksir cewek, tapi malah menghindar. ”
“Sikap yang aneh,” batin Aya.

Beberapa bulan mereka saling mendiamkan dan tidak saling kontak. Suatu hari, iseng-iseng Aya mengetikkan nama Azam di Pencarian Teman Facebook-nya. Ternyata ada nama Azam, langsung Aya nge-add nama Azam. Sedikit pesimis, apakah Azam mau mengonfirmasinya atau tidak, mengingat hubungan persahabatan mereka yang sedang dalam kondisi kritis. Sehari kemudian, ternyata Azam mengonfirmasi pertemanannya di facebook. Sebuah langkah baru kembali membentang.

Aya langsung tertawa begitu melihat wall facebook Azam, di situ tertulis kalau Azam baru mengubah statusnya dari “lajang” menjadi “rumit”. Aya sering komen di postingan Azam, tapi Azam sangat jarang komen di postingan Aya. Ternyata, posisi Aya dari dulu masih selalu lebih dominan. Aya pun tahu diri, lama-lama dia mulai mengurangi komennya di wall Azam. Bahkan nyaris tidak berkunjung lagi di wall Azam selama beberapa bulan. Selain karena disibukkan dengan kerjaan kantor, facebook di kantor Aya pun tidak bisa bebas diakses kecuali saat istirahat siang selama satu jam. Sebenarnya bisa saja mereka chattingan via Yahoo Messenger, tapi Azam sangat jarang mengaktifkan YM-nya. Akhirnya, komunikasi mereka pun tetap terhambat.

Sebenarnya bukan soal facebook atau chatting, toh itu hanya sarana. Intinya karena hati mereka sepertinya sudah tidak saling peduli. Sampai kemudian, tiba-tiba Azam mengontak Aya via chatting di YM. Dia curhat tentang cewek yang sedang ditaksirnya tapi sulit diajak nikah.

“Dia kan masih semester tiga, wajar kalau dia belum berfikir soal pernikahan. Tunggu aja lima tahun lagi sesuai ramalan di facebook. Hehehe …” Balas Aya sedikit bercanda.
“Iya, tuh, ramalan ngarang aja.” Balas Azam lagi.

Azam memang pernah mengikuti kuis tentang jodoh di facebook, jawabannya, jodohnya masih jauh, sekitar lima tahun lagi.

Meski agak sedikit kecewa, tapi Aya mencoba untuk bersikap netral. Dia menyikapi curhatan Azam seperti menerima curhatan sahabat-sahabatnya yang lain. Dia mencoba membangun imej dalam pikirannya bahwa Azam bukanlah pria yang pernah dicintainya. Sepertinya Azam benar-benar serius ingin membangun mahligai rumah tangga dengan wanita itu, hanya saja terkendala dengan ketidakjelasan dari wanita itu.

“Azam, di hati ini masih ada cinta untukmu, tapi kalau kebahagiaanmu ada pada wanita lain, maka aku pun hanya bisa turut mendoakan kebahagiaanmu, aku hanya bisa menatap kebahagiaanmu dari jauh. Hanya seuntai doa, siapa pun wanita yang akan mendampingimu kelak, semoga dia bisa membuatmu bahagia,” tulis Aya sambil menutup buku hariannya seperti menutup masa lalunya bersama Azam.

Aya sadar, mengejar cinta manusia hanya akan membuatnya “capek”. Hanya cinta Allahlah yang akan membuat hidup kita bahagia dan penuh makna. “Ya Allah … penuhi hati ini dengan cinta kepada-Mu. Bahagiakan hati ini dengan cinta-Mu.”

TAMAT!

Selasa, September 08, 2009

Bukan Cinta Adam & Hawa, Tapi Cinta Azam & Aya #1

Melihat sikap Azam dan Aya di sinetron TV “Para Pencari Tuhan”, membuatku merasa gemas. Mereka saling cinta tapi sikap kesehariannya seperti sepasang musuh, bagai “anjing dan kucing” yang setiap kali bertemu selalu bertengkar.

Namun, sikap mereka yang seperti itu ternyata ada di lingkungan saya sendiri. Kisah nyata versi Azam dan Aya yang satu ini lahir di sebuah perguruan tinggi Islam di Bandung. Bermula dari perkenalan Azam dengan Aya sekitar sepuluh tahun lalu saat masih kuliah. Waktu itu Aya menjadi bendahara panitia Ospek mahasiswa baru tingkat Jurusan Muamalah (Fakultas Syariah). Azam yang menjadi sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Muamalah, didaulat untuk mengisi materi tentang Tehnik Sidang Rapat untuk pemilihan ketua angkatan.

Sebelum masuk ruang kelas tempat mahasiswa baru mengikuti kegiatan, moderator yang akan mendampingi Azam membantunya mengisi biodata. Saat itulah Aya tahu data dirinya, nama, asal daerahnya, dsb.

“Oh…orang Indramayu,” komentar Aya waktu moderatornya menuliskan tempat dan tanggal lahirnya.

“Kok, nggak potongan kayak orang Indramayu?” tanya Aya sambil melihat ke arah Azam dari ujung rambut hingga sepatu.

Aya tidak memungkiri kalau wajah Azam lumayan ganteng. Tapi, bukan berarti Aya langsung naksir dia. Waktu itu Aya masih sedikit “under estimate” dengan cowok ganteng. Aya punya saudara sepupu yang lumayan ganteng, tapi playboy. Hampir setiap tiga bulan sekali dia ganti pacar. Sialnya, wajahnya itu mirip dengan wajah Azam. Aya pun sempat berpikir kalau Azam tidak berbeda dengan cowok ganteng lain. Apalagi waktu dia masuk kelas untuk menunaikan tugasnya mengisi materi di acara ospek itu, para mahasiswi baru begitu heboh menyambutnya, diiringi suara riuh seperti menyambut artis idolanya.

Para mahasiswi baru pada keganjenan amat, sih. Lihat cowok kayak lihat apaan. Biasa aja, napa. Batin Aya. Di satu sisi Aya salut dengan sikap Azam yang tetap tenang menghadapi perempuan-perempuan ganjen itu. Tidak tampak ke-GR-an atau grogi. Tapi, di sisi lain Aya sedikit ilfil. Udah ganteng, banyak penggemar, pasti dia playboy. Pikir Aya. Sebuah praduga yang pada akhirnya diakui Aya salah besar.
***

Selama dua tahun Aya kuliah, baru saat itu Aya melihat sosoknya. Mungkin karena kos-kosan kami berjauhan, makanya saya nggak pernah lihat dia, baik di kampus maupun di lingkungan kos mahasiswa. Batin Aya. Namun, Aya sempat kaget waktu Azam bilang kalau dia tinggal di Jalan Desa Cipadung, daerah tempat Aya kos. Lebih kaget lagi saat dia menyebut kosannya yang khusus cowok itu ternyata pas berada di depan rumah kos Aya.

“Saya kan, sering main ke kosan, Mas. Kok, saya gak pernah lihat orang yang bentuknya kayak, Mas!” tanya Aya.
Azam hanya tersenyum.

Aya memang sering main ke kosan itu karena ada anak sedaerahnya yang tinggal di sana. Mereka punya perkumpulan mahasiswa daerahnya dan sering mengadakan rapat organisasi di sana. Tapi, Aya tidak pernah melihat sosoknya.

“Dia kan, aktivis, makanya jarang ada di kosan,” kata Bram, temen sekosan Azam sekaligus temen sekampung Aya waktu Aya bertanya tentang Azam.

Sejak saat itu Aya sering bertemu dengan Azam dalam berbagai kegiatan organisasi maupun di kosannya.
***

“Ini, kan, seharusnya tugas sekretaris,” kata Aya waktu mendapat tugas dari Ketua Umum HMJ untuk memasukkan data semua mahasiswa baru jurusan Muamalah ke buku besar milik HMJ.

Ya, tugas Aya sebagai bendahara panitia seharusnya hanya memanaj dan melaporkan keuangan selama kegiatan ospek berlangsung. Tapi, karena bendara panitia ospek sebelumnya juga melakukan pekerjaan itu, akhirnya Aya pun mengalah. Kompensasinya, Aya meminta Azam sebagai sekretaris HMJ untuk membantunya menyelesaikan tugas itu. Untung Azam dengan senang hati mau membantunya.

“Aya udah semester berapa?” tanya Azam sambil menempelkan foto-foto mahasiswa baru di buku yang cukup besar, tebal, dan berat. Sementara Aya mencari foto dan mencocokkan dengan nama yang tertera di buku itu.

Sebuah pertanyaan yang aneh, masak sih, dia nggak tahu saya sekarang semester berapa. Batin Aya. Tapi, Aya tetap menjawabnya.

“Semester lima, emang kenapa?”
“Udah saatnya punya pacar, tuh,” kata Azam.
“Emang apa enaknya punya pacar? Enakan juga gak punya pacar, kemana-mana bebas, gak ada yang ngelarang. Kalo punya pacar, kan harus izin dulu kalo mau pergi-pergi.”

Meski Aya bukan seorang aktivis dakwah yang berjubah waktu itu, tapi jiwa santri tertanam cukup kuat di hatinya sehingga membuat Aya berprinsip untuk tidak pacaran. Aya memang pernah mengenyam pendidikan di pesantren sejak SMP-SMA. Kalau ada cowok yang mengajakku pacaran, saat itu juga akan aku bilang ‘tidak’. Tapi, kalau ada yang mengajakku untuk menikah, akan aku pertimbangkan. Begitu prinsip Aya.

Meski Aya berprinsip demikian, bukan berarti Aya menjauhi kaum pria. Teman cowoknya tetap banyak, terutama sesama aktivis karena Aya juga aktif di beberapa organisasi baik intra maupun ekstra kampus, hanya saja tidak berkaitan langsung dengan dunia dakwah.
***

Waktu berlalu begitu cepat hingga Aya memasuki masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di luar kota Bandung. Susan, salah satu teman KKN yang beda fakultas pernah nanya ke Aya, “Aya, kamu kan jurusan Muamalah? Kenal sama Kang Azam, dong?”

“Kenal, emang kenapa? Kamu kenal juga?” jawab Aya.
“Nggak. Cuma adik tingkat yang sekosan sama saya sering banget cerita tentang dia. Dia pelatih Taekwondo di kampus?”
“Iya.”

“Adik tingkatku itu naksir berat sama Kang Azam sampai mencoba menarik perhatiannya dengan berbagai cara, terutama waktu Kang Azam melatih Taekwondo. Kebetulan adik tingkatku itu aktif di Taekwondo. Tapi, Kang Azam sepertinya acuh aja, tuh. Saya jadi penasaran, emang seperti apa, sih, dia?” papar Susan.

“Masak sih, dia cuek ama cewek. Setahu saya dia baik ke sumua orang sampai banyak cewek yang ke-GR-an sama sikapnya.”

Bukan sekali-dua kali Aya melihat kamar Azam dikunjungi cewek-cewek. Aneh memang, biasanya cowok ngapelin cewek, ini kebalikannya, cowok yang diapelin sama cewek.

“Tau, tuh, Azam. Cewek yang naksir banyak, tapi jomblo aja,” kata Bram waktu Aya melihat di kamar Azam sedang dikunjungi banyak tamu cewek.
“Yah … mungkin belum ketemu cewek yang cocok, kali,” balas Aya.

Setahu Aya, semua cewek yang main ke kosannya diperlakukan dengan baik selayaknya tamu pada umumnya. Begitupun saat Aya main ke kosannya. Saking baiknya, sampai ada temen sekosannya yang sedikit protes sama dia.
“Azam, ngapain kamu baik-baik sama Aya? Dapet apa kamu dari dia?”
Azam menjawab ringan, “Ya, Aya kan tamu saya, jadi harus dibaikin. Ya nggak, Ay?” tanya Azam sama Aya yang saat itu sedang berada di kosan Azam. Bukan ngapelin Azam, tapi memang sedang ada perlu dengannya.

Aya sebenarnya merasa nggak enak dengan pertanyaan teman Azam itu, seolah-olah dia hanya memanfaatkan kebaikan Azam untuk kepentingan dirinya semata. Tapi, mau bagaimana lagi, dia saat itu memang sedang membutuhkan bantuan Azam.
***

Pernyataan Susan, teman KKN Aya tentang diri Azam ini membuat Aya berpikir lain tentang Azam. Selama ini Aya menganggap kebaikan-kebaikan Azam kepadanya sebagai sebuah kebaikan layaknya seorang sabahat, tanpa tendensi apa pun. Aya pikir, mungkin dia memang baik kepada semua orang, baik cowok maupun cewek. Aya pun tidak mau ke-GR-an kayak cewek-cewek lain, bahkan ada seorang cewek yang mengaku kepada teman-temannya kalau dia itu pacarnya Azam. Tapi, ketika Aya mengonfirmasi langsung ke Azam, ternyata itu hanya gosip belaka.

Tentu saja Aya tidak langsung percaya. Sampai suatu ketika saat Aya datang ke kosannya untuk minta dianterin ke wartel, Aya melihat cewek itu sedang main ke kosan Azam. Penampilannya cukup rapi seperti hendak pergi kuliah, kulitnya yang putih nampak semakin menor dengan lipstik merah merona yang dipakainya. Semakin menonjolkan kecantikannya. Sangat kontras dengan penampilan Aya waktu itu yang terlalu apa adanya. Kaos pendek yang dipakai Aya ditutupnya dengan jaket, dipadu jilbab kaos dengan ikatan di belakang (persis anak TPA), warna jaket dengan celana panjang gak matcing, wajahnya dibiarkan polos tanpa riasan sedikit pun. Pokoknya penampilan Aya saat itu “nggak banget”, deh.

Begitu Aya datang, Azam langsung bilang, “Oh iya, saya kan, ada janji mau nganterin Aya, yah. Hayu, atuh!” ajaknya seolah takpeduli dengan kehadiran cewek itu.

Sebenarnya Aya merasa nggak enak dengan cewek itu, sudah capek-capek dandan secantik itu, dicuekin sama Azam. Tapi, karena Aya memang sudah janjian sebelumnya, Aya pun tetap berangkat. Cewek itu memutuskan untuk ikut ke luar kosan. Sekalian pulang ke kosannya sendiri, katanya. Kalau cewek ini benar pacarnya Azam, seharusnya Azam lebih peduli sama dia dong, dibanding sama Aya. Tapi, ternyata tidak. Berarti, di antara mereka benar-benar tidak ada hubungan khusus.

Yah, saat itulah Aya mulai berpikir, Apa kebaikan-kebaikan yang selama ini diberikan Azam kepada saya adalah bentuk perhatiannya kepada saya? Bukan semata-mata kebaikan seorang sahabat? Andai itu yang terjadi, betapa bahagianya saya. Tapi, Aya mencoba menepis harapan kosong itu, mencoba berpikir realistis. Jangan-jangan saya hanya ke-GR-an.

Ketika Aya berusaha keras untuk menepis hayal itu, Susan kembali bertanya-tanya tentang Azam. Akhirnya, keluar juga cerita Aya tentang kebaikan-kebaikan Azam kepadanya. Aya sering minjem buku-bukunya sebagai referensi membuat tugas makalah plus minta masukan ide untuk makalahnya itu. Dia sering minta dianterin Azam kalau butuh teman pria, sering curhat sama dia kalau hati lagi penat, …dsb… dia pun tidak pernah menolak permintaan Aya. Dia pendengar yang baik, pemberi masukan terbaik, sahabat sekaligus kakak yang baik, membuat Aya merasa nyaman berada di sampingnya.

Pernah sih, Azam tidak bisa memenuhi permintaan Aya waktu Aya meminta bantuannya untuk membuatkan makalah. Biasanya Aya paling anti meminta bantuan untuk hal yang satu ini. Dia lebih puas kalau membuat makalah sendiri walaupun tidak sebagus bikinan orang lain. Tapi, waktu itu Aya benar-benar nggak ada waktu untuk membuatnya. Aya sedang terhimpit dengan jadwal organisasi yang padat dan tidak bisa ditinggalkan. Mungkin Aya sudah terbawa tren aktivis mahasiswa kampusnya yang tidak merasa puas kalau hanya aktif di satu organisasi saja. Waktu itu Aya aktif di empat organisasi sekaligus.

“Makanya, Aya cari pacar. Pacar cukup satu, satu di rumah, satu di kampus. Pacar yang di kampus kan bisa diminta buat bikinin tugas,” canda Azam.
“Oh, gitu to, fungsi pacar. Hanya sekedar buat bikinin tugas. Kasihan banget, dong ya, cuma dimanfaatin doang,” jawab Aya sekenanya.
“Ya, itu kan, cuma salah satu,” ungkap Azam.
“Jadi, bisa nggak nih, bantuin saya!” pinta Aya menegaskan kembali.
“Ya, gimana, dong. Kamu lihat sendiri, kan. Kakiku terkilir gini waktu latihan Taekwondo. Makalah itu kan butuh referensi. Saya nggak bisa keluar rumah buat nyari referensinya.”

Akhirnya Aya mengalah. Aya maklum kalau Azam nggak bisa membantunya saat itu karena kondisinya memang tidak memungkinkan. Tiga hari kemudian Aya bertemu Azam di kampus.
“Gimana tugasnya, udah selesai?” tanya Azam menanyakan tugas makalah yang kemarin.
“Ngapain nanya-nanya, bantuin juga nggak,” jawab Aya sedikit sewot.
Azam hanya tersenyum sambil melihat reaksi marahnya Aya. Aneh kali melihat Aya kalau lagi marah, hidung pesek, bibir yang manyun. Hehehe….

Bercerita soal Azam, Aya kembali teringat ketika mereka menjadi panitia Basic Training HMI. Aya, Azam, dan beberapa panitia lainnya sedang makan malam di warung. Orang yang makan di warung waktu itu lumayan banyak sampai gelas untuk minum kurang. Hanya tinggal satu gelas, sementara yang belum kebagian ada dua, Aya dan Azam.

“Yah, saya nggak kebagian minum, tinggal buat Mas Azam,” kata Aya sambil ngelirik gelas yang dipegang Azam.

Tanpa diduga, Azam memberikan jatah minumnya, “Ya udah, ini buat Aya, aja.”
Tanpa ragu-ragu, Aya pun menerima gelas itu. Maklum, Aya terbiasa minum dulu sebelum makan, meski hanya seteguk.

Selesai makan, Aya pun menghabiskan air minum di gelas. Baru saja Aya meletakkan gelas di meja, dia langsung mengambil gelas itu.

“Mau buat apa, Mas, gelasnya?” Tanya Aya yang duduk di sampingnya.
“Ya, buat minum.”
“Tapi, kan, baru Aya pakai, belum dicuci. Aya cuci dulu, sini.” Aya menawarkan.
“Gak, usah.”
Azam langsung menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas itu.

Aya hanya membatin. Kok, dia gak jijik, sih, make gelas bekas orang lain. Padahal, saya paling nggak mau minum memakai gelas bekas cowok, kecuali keluarga.

Aya memang lebih menyukai kebaikan yang diberikan orang lain secara spontan, meski itu kecil. Kabaikan yang diberikan secara spontan menunjukkan kalau orang itu memang benar-benar baik, bukan karena ada maunya, atau ada udang di balik batu.

Keesokan harinya, Aya melihat Azam sedang sibuk di dapur membantu panitia bagian konsumsi untuk memotong-motong sayuran. Aya dekati dia, memperhatikan cara dia memotong sayuran.

Aya pun berkomentar enteng, “Wah, seneng dong ya, orang yang nanti jadi istri Mas, setiap hari dibantuin masak.”

Entah mengapa, tiba-tiba tangannya bergetar hebat, ngadegdeg, kata orang Sunda, mah. Apa mungkin dia grogi dibilang begitu? Entahlah. Aya sempat khawatir kalau-kalau pisau itu akan melukai tangannya. Walau itu tidak terjadi. Rada aneh, sih, seorang aktivis seperti dia, yang terbiasa berbicara di depan publik, ternyata bisa grogi juga. Hehehe….

Ah … tiba-tiba Aya merasa rindu kepadanya. Untuk pertama kalinya Aya merasakan kengen sama Azam setelah setahun mereka berteman. Kadang kita baru menyadari arti penting kehadiran seseorang setelah orang itu tidak berada di dekat kita. Jangan-jangan saya sudah jatuh cinta kepadanya? Oh no … jangan hadirkan cinta ini sebelum hamba siap menikah, ya Allah….. Aya seperti mengiba.

Tapi sayang, saat perasaan cinta itu hadir di hati Aya, Azam keburu lulus. Mungkin Allah tahu kalau saat itu Aya belum siap menikah, sehingga Dia menjauhkan Aya dari Azam. Entahlah, mungkin juga karena mereka memang tidak berjodoh.
***

Azam lulus dan harus meninggalkan kampus tempatnya menimba ilmu agama selama ini. Sebelum Azam meninggalkan Bandung, Aya sempat main ke kosan Azam. Aya seperti merasa berhutang budi atas kebaikan-kebaikan yang telah Azam berikan untuknya. Aya ingin membalas hutang budi itu, tapi nggak tahu harus membalas dengan cara apa.

Selama ini Aya berhasil menolak secara halus pemberian dalam bentuk materi dari temen-teman prianya. Menurut Aya, kalau kita mudah menerima, kita akan sulit menolak. Tidak selamanya kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita benar-benar tulus tanpa pamrih. Kalau mereka sudah memberikan ini dan itu dalam bentuk materi, sementara kita tidak bisa memenuhi keinginannya, dia pasti kecewa. Aya pun tidak ingin mengecewakan orang lain, apalagi kalau sampai terkesan seperti cewek matre yang memanfaatkan kebaikan pria untuk memenuhi kebutuhan materinya. Na’uzubillahi min zalik.

Namun, ada satu hal yang luput dari pemikiran Aya, kalau ternyata pemberian dalam bentuk jasa akan lebih sulit membalasnya. Materi mudah dihitung, kalau orang lain menuntut atau mengungkit-ungkit kebaikannya, misalnya, akan mudah mengembalikan. Tapi, tidak demikian dengan pemberian jasa. Sulit mengembalikannya. Aya tidak mungkin balik mengantar/mengawal Azam, misalnya, demi untuk membalas kebaikannya yang sudah sering jadi bodyguard ketika dia butuh ditemani seorang pria. Atau balas meminjamkan buku kepada Azam kalau Azam sendiri sedang tidak membutuhkannya.

“Jadi, apa nih, balasannya? Kamu kan, udah sering dipinjami buku, ditemenin pergi-pergi ama Azam,” kata Bram mewakili Azam yang duduk di sampingnya.

Aya pun bernyanyi dengan santainya, “Menghitung jasa, satu demi satu,” menirukan nada lagu Menghitung Hari-nya Krisdayanti.

“Nyak, sok atuh, mo minta apa? Kalau saya mampu ngasih, insya Allah saya kasih. Asal jangan minta diambilin bintang di langit aja, nggak mungkin bisa,” kata Aya.

Namun, mereka berdua hanya diam tanpa komentar sepatah kata pun. Mungkin nggak enak kalau harus nuntut ini dan itu. Akhirnya, Aya hanya bisa memberikan kartu ucapan selamat atas kelulusan Azam. Setiap Aya bertemu dengannya, Azam selalu mengucapkan kata “terima kasih” atas kartu ucapan yang Aya buat khusus dengan tangannya sendiri. Kalau dihitung-hitung, mungkin dia mengucapkan ungkapan “terima kasih” sampai tiga kali. Entahlah, apa karena saking bahagianya atau karena lupa sudah mengucapkan terima kasih.

Aya tahu, kartu ucapan itu tidak bisa membalas semua kebaikan Azam kepadanya. Tapi, setidaknya bisa menjadi kenangan terakhir untuk Azam.

Pascakelulusan Azam, mereka nyaris hilang komunikasi. Apalagi bertemu muka langsung, tidak pernah. Setahun kemudian, Allah mempertemukan mereka kembali sehari sebelum Aya wisuda. Aya sempat mengira kalau Azam sudah menikah, makanya Aya menjawab sekadarnya waktu dia nanya, “Aya, udah ada PW-nya, belum,” Maksudnya Pendamping Wisuda.

“Udah,” jawab Aya. Padahal maksudnya, sih, orang tuanya.
“Oh, kirain belum. Tadinya saya mau mendaftarkan diri.”
Aya hanya tersenyum sambil membatin, Kan, Mas udah ada yang punya.
Itulah pertemuan terakhir mereka di tahun 2000. Beberapa bulan setelah itu Aya baru tahu kalau Azam sebenarnya belum nikah.

Lalu, apa mereka bisa bertemu kembali? Padahal, mereka tinggal di dua kota yang berbeda, Aya tetap tinggal di Bandung sedang Azam kembali ke kampung halamannya di Indramayu.

BERSAMBUNG…………….

Senin, September 07, 2009

Perjuangan Keluar dari Dunia “Abu-Abu”



Namun, hubungan itu tidak berjalan lama. Setelah lulus SMP,
sebuah kecelakaan merenggut nyawa Bonie. Rey benar-benar terpukul.


Zemarey Al-Bakhin, pria kelahiran Bandung pada 1979 ini, lebih akrab dipanggil Rey. Rey adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Saat lahir, Rey terlihat begitu cantik; tubuh mungilnya dibalut kulit putih bersih, hidung bangir dengan bulu mata yang lentik. Maka, wajar bila dukun beranak yang membantu persalinan ibunya, mengira Rey anak perempuan. Ibu kandung Rey baru tahu kalau anak bungsunya ternyata berjenis kelamin laki-laki ketika dia mengganti popok anaknya untuk pertama kali. Ibunya sempat terkejut, begitupun bapak dan kakak-kakaknya. Namun, akhirnya mereka malah tertawa bareng. Padahal, tadinya mereka sepakat untuk memberi nama perempuan pada bayi itu. Tapi, setelah kejadian itu mereka akhirnya memberi nama Zemarey Al-Bakhin.

Kejadian yang waktu itu dianggap seperti guyonan, ternyata menjadi pertanda keganjilan pada kehidupan bayi mungil itu di kemudian hari. Keganjilan apakah gerangan?

Mengenal Dunia Gay

Semasa SD, Rey kecil masih tetap terlihat cantik. Tidak sedikit orang bilang kalau Rey terlalu cantik sebagai laki-laki. Teman-temannya sering memanggil “Neng” (sebutan untuk perempuan Sunda). Tapi, Rey kecil tidak pernah menggubris olok-olokan itu. Yang terpikir dibenaknya adalah keinginan untuk terus belajar. Kerja kerasnya ini menjadikan Rey selalu juara kelas dari mulai kelas I hingga kelas IV SD, bahkan jadi murid teladan di sekolah.

Memasuki masa SLTP, Rey semakin sadar akan jati dirinya. Ia mulai merasa terganggu dengan gunjingan, cemooh dan ejekan dari orang-orang sekitar tentang keadaan fisik dan cara bicaranya. Rey mulai merasa malu, minder, dan sedih. Saat seperti itulah Rey mengenal seorang pria di kelas yang begitu pengertian, Bonie namanya. Dia satu-satunya pria yang tidak pernah mengolok-olok dirinya, bahkan selalu membelanya di depan temannya yang lain. Persahabatan ini terus berlanjut. Tanpa Rey sadari, muncul perasaan lain di hatinya. Rey mulai menyukai teman prianya itu. Senyum dan segala kebaikannya selalu terngiang di benak Rey, rasa rindu untuk selalu bertemu pun selalu mengusik hatinya. Rey bahkan pernah cemburu dengan pacar Bonie. Muncul pertanyaan di benak Rey, “Apakah aku mencintai Bonie?” Meski sisi hati Rey yang lain menolak karena sadar menyintai sesama jenis sangat dilarang agama. Tapi, hatinya sulit mengingkari “perasaan cinta” itu.

Gayung bersambut, ternyata Bonie pun memiliki perasaan yang sama pada Rey. Wanita yang selama ini dikencaninya ternyata “lipstik” belaka, sekadar menunjukkan kalau dia bisa punya pacar. Padahal, hatinya tersiksa karena lebih menyintai pria sejenis. Pria itu adalah Rey. Mereka pun “jadian”. Namun, hubungan itu tidak berjalan lama. Setelah lulus SMP, sebuah kecelakaan merenggut nyawa Bonie. Rey benar-benar terpukul. Sedih dan pilu begitu menggelayuti hatinya.

Keluarga Rey memang tidak tahu perasaan Rey pada Bonie. Mereka hanya tahu kalau Rey selalu tampil beda dari pria pada umumnya hingga orangtua dan kakak-kakaknya sering memarahi dan menuntut Rey untuk tampil sejatinya seorang pria. Tuntutan itu begitu menyiksa, belum lagi dengan cemooh dan ejekan orang-orang di sekitarnya. Tidak jarang Rey menyalahkan Tuhan. “Mengapa Allah menciptakan diriku seperti ini?,” jerit hati Rey. Kalau boleh memilih, tentu saja Rey tidak mau terlahir seperti itu. Secara fisik, Rey seorang lelaki tulen. Namun, batinnya cenderung seperti perempuan. Rey seolah merasakan ketidakadilan Tuhan pada dirinya.

Meski Rey memiliki kecenderungan batin yang menyimpang, tapi dia tidak pernah terjerumus ke jurang kenistaan. Dalam kelelahan batin seperti itu, Rey jadi sering menyendiri di kamar dan membaca buku. Lalu, muncul keinginan untuk shalat, mengaji dan mendekatkan diri kepada Allah. Rey mulai merasakan ketenangan batin setelah menunaikan shalat. Dia terus berdoa memohon petunjuk dan ampunan pada Allah. Meski Rey belajar Al-Quran secara otodidak dari buku tajwid, akhirnya dia bisa membaca Al-Quran dengan benar. Sampai ada orang yang mau berguru ngaji padanya. Kegiatan mengajar ngaji pun terus berlanjut, murid-muridnya semakin bertambah.

Pernikahan yang Mengubah Hidup

Dengan segala daya upaya, Rey terus menumbuk perasaan tertariknya dengan sesama pria dan menampik datangnya godaan dari pria. Namun, Rey tetap sulit menyintai wanita. Meski pernah sekali menjalin hubungan dengan seorang wanita, akhirnya Rey memilih putus dengannya. Setelah itu, pernah pula ada wanita lain yang menyatakan cintanya pada Rey, tapi tetap saja hati Rey tidak terbuka.

Perang batin terus berkecamuk di hati Rey, antara menuruti perasaan dan keinginan mengingkarinya karena sadar akan azab Allah. Saat itulah Rey terus menguatkan doa dengan segenap keyakinan kalau Allah pasti akan menolong hamba-Nya. Rey sadar, tidak baik kalau terus memelihara perasaan menyimpangnya. Sampai akhirnya Allah mendengar doanya. Rey melihat seorang perempuan di sebuah acara hajatan saudara. Ada sedikit rasa GR karena merasa diperhatikan oleh perempuan itu. Ketika sampai di rumah, entah mengapa Rey terus teringat dengan perempuan itu. Ada keinginan untuk menganalnya lebih jauh. Wajah dan penampilannya memang sederhana, tapi Rey menemukan hal berbeda pada tatapan matanya yang membuat hatinya tergetar. Mungkin sudah menjadi ketentuan Allah, mereka akhirnya bisa kembali betemu dan saling mengenal lebih jauh. Untuk pertama kalinya Rey mencintai seorang perempuan yang akhirnya menjadi istrinya.

Setelah menikah, sedikit demi sedikit Rey mulai menceritakan ihwal dirinya pada istrinya. Pada awalnya, istrinya sempat terkejut. Tapi. akhirnya dia mau menerima Rey dengan ikhlas. Satu hal yang membuat Rey bahagia, memiliki istri shalihah yang mau menerima dirinya apa adanya. Rey pun berusaha menafkahi istrinya lahir maupun batin sebagai bentuk kewajiban seorang suami. Kini, Rey dan istri memiliki dua orang anak angkat yang melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka. (Indah/Tabloid MQ)

Komentar Pakar (Dr. Tauhid Nur Azhar, M.Kes.)

Gay Bisa Berubah karena Kekuatan Doa

Perilaku penyimpangan seksual seperti yang terjadi pada kaum Nabi Luth, secara historiografi selalu ditemukan hampir pada setiap generasi. Jadi, bukan merupakan penyakit zaman.

Setidaknya ada tiga faktor penyebab penyimpangan seksual, baik gay atau lesbi, seperti yang dialami Rey. Pertama, ada struktur genetika yang mengarah pada penyimpangan seksual dengan ditemukannya kromosom Xq21. Orang beriman yang mengalami penyimpangan seksual karena faktor gen akan merasakannya sebagai sebuah ujian. Hal ini bisa diubah dengan kekuatan doa. Bila doa dipanjatkan dengan tulus dan penuh keyakinan pada Allah, gen ini bisa berubah atau bahkan tidak aktif lagi. Sebab, doa orang beriman akan mampu meningkatkan neuroendrokin yang akan mengubah ekspresi gen.

Kedua, pola asuh yang kurang tepat pada fase tumbuh kembang. Hal ini akan memengaruhi aspek psikologi perkembangan. Bila seseorang dikondisikan menjadi androgini (kepria-priaan bagi wanita) atau menjadi feminin (untuk pria), maka konsep tubuhnya akan terdorong pada kecenderungan yang diberikannya itu. Laki-laki bisa jadi berperan sebagai perempuan, atau sebaliknya.

Pola pengasuhan yang benar dapat dilakukan dengan menempatkan anak sesuai fitrah dan tahapan perkembangannya. Jangan dibiasakan memberi pelajaran yang sifatnya instant atau menekankan cap tertentu pada anak. Bahayanya, anak akan memiliki pandangan sempit bahwa yang bagus itu A atau B. Padahal ada yang lebih bagus di luar A dan B. Maka bebaskan anak memiliki prefensi sendiri.

Ketiga, peran gen sosial. Richard Brodie dan Richard Dawkins, menyebutnya dengan istilah “meme”. Meme ini diduga sebagai sifat yang ditularkan karena kebiasaan. Perilaku ini ditularkan tidak hanya karena faktor lingkungan, tapi juga karena faktor interaksi antar manusia yang menular sampai ke tingkat biologis (genetika). Gen sosial ini dapat menular dan mengubah sistem pengambilan keputusan seorang manusia. Itu sebabnya, dalam metode “Tombo Ati” disebutkan “wong kang saleh kumpulana”. Artinya, berkumpul dan dekatilah orang-orang shalih karena dengan kondisi keshalihan mereka, selain akan tertular perilaku positifnya, akan tertular pula materi genetiknya.

Perubahan akibat pengaruh lingkungan ini sangat signifikan karena tidak hanya dari pola pikir dan tataran konseptual, tapi juga sampai ke hal-hal fisik. Seseorang yang sering dielus-elus, prefensi rasanya bisa berubah. Peran hipotalamus, posisi pengambilan keputusan di otak, bintik-bintiknya akan berubah. Ada rasa enak. Kalau yang memegang agak kekar, akan terasa nyaman.

Untuk bisa berubah, harus memiliki tekad kuat, disertai doa dan ikhtiar karena sebenarnya perubahan selera atau orientasi sangat mungkin terjadi. Allah tidak akan mengubah nasib seseorang, bila dia tidak berusaha mengubah dirinya sendiri. Perasaan itu harus dilawan. Perubahan bisa instant, tapi bertahap. Pada kasus Rey, salah satunya adalah karena peran istri. Wallahu a’lam ***

(Kisah lengkapnya ada di buku “Tuhan Tidak Pernah Iseng: Misteri Penyimpangan dan Pertobatan Anak Manusia” yang ditulis oleh Zamarey Al Bakhin)

Kamis, September 03, 2009

Rasa Sayang Tak Harus Memilih


ANAK adalah amanah, anak adalah ujian sekaligus karunia terindah yang Allah berikan pada manusia. Bagi seorang perempuan, ketika melihat anak yang begitu cantik, pintar, lucu dan memiliki tubuh sehat, montok berisi dan berkulit bersih, pasti naluri keibuannya akan muncul seketika untuk menyayangi mereka. Tapi di sisi lain, kadang saya berpikir tentang anak-anak yang memiliki keterbatasan baik secara fisik, moral, atau ekonomi. Anak-anak cacad, anak-anak nakal yang sempat terjerumus dunia hitam, anak-anak jalanan korban kemiskinan ekonomi. Pada anak seperti ini, jarang orang yang mau mendekati atau bahkan menyayangi mereka.

Tapi saya pernah membaca kisah seorang ibu yang begitu tulus mencintai anak yang memiliki keterbatasan. Pada saat ia mengidap penyakit kanker dan divonis hidupnya tidak lama lagi, ia malah memelihara anak dari panti asuhan. Anehnya ia mengambil anak-anak yang memiliki keterbatasan secara fisik, berwajah kurang menarik, bisu, cacad dan sebagainya.

Awalnya ia hanya mengasuh seorang anak. Ketika satu tahun berlalu dan ternyata vonis dokter bahwa hidupnya kurang dari 1 tahun tidak terbukti, ia pun kembali mengambil satu anak asuh. Begitu seterusnya sampai tahun ke-5, sehingga anak asuhnya pun berjumlah 5 orang.

”Kalau anak-anak normal, cantik dan sempurna, siapa pun akan mau menyayangi mereka. Tapi anak-anak cacad itu, siapa yang mau mengambil mereka sebagai anak asuh? Siapa yang mau menyayangi mereka? Padahal justru merekalah yang lebih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari kita,” begitu beliau beralasan.

Seharusnya rasa sayang tidak harus memilih. Tapi memang begitulah hati manusia, ”kasih sayang” lebih mudah tumbuh pada sesuatu yang mengenakkan mata, telinga atau panca indera kita. Bukankah kasih sayang bersumber dari hati, tapi kenapa terpaut pada fisik ?

Satu lagi kisah seorang bidan yang hidup di Jakarta, kebetulan bidan itu masih saudara saya. Salah satu pasien yang datang mau melahirkan anak, malah menawarkan pada bidan itu agar mau mengangkat anak yang akan dilahirkannya. Alasannya, karena ia janda tapi hamil tanpa jelas siapa bapak dari anak yang dikandungnya (berprofesi WTS). Selain malu, juga tidak punya biaya untuk masa depan anaknya kelak. Karena kasihan, bidan ini mau merawat anaknya, bahkan bebas biaya melahirkan. Tapi dengan catatan bila anak yang lahir perempuan. Ternyata anaknya lahir perempuan, maka jadilah bidan ini mengangkat anak tersebut.

Sampai anak itu berusia 3 tahun, ibu dari anak itu datang lagi ke bidan ini. Ibu itu bermaksud meminta sejumlah uang sebagai harga atas anak yang dulu diberikan pada bidan ini secara gratis. Saudara-saudara saya yang lain menganjurkan agar anak itu dikembalikan saja pada ibu kandungnya, daripada diperas. Apalagi secara fisik anak itu jauh dari cantik dan lahir dari seorang ibu yang kurang baik secara moral. Khawatir sifatnya akan menurun pada anak itu. Tapi dengan tenang, bidan ini berkomentar, ”Meski anak ini lahir dari ibu yang kurang bermoral, tapi siapa tahu bila dididik dengan agama dalam sebuah rumah tangga yang kondusif, kelak ia akan tumbuh menjadi anak yang sholehah”.

Bidan ini pun tetap mempertahankan anak itu dan memberikan pengertian pada ibu itu agar merelakan anaknya tanpa memeres dengan uang sepeser pun. Akhirnya ibu itu setuju.

Ironis memang, ada seorang ibu yang tega menjual bahkan membunuh anak kandungnya. Tapi di sisi lain ada ibu yang tulus menyayangi anak yang tidak ada hubungan darah setetes pun. Seandainya rasa sayang harus memilih, seharusnya ibu kandunglah yang lebih bertanggungjawab, yang harus lebih menyayangi anaknya.

Adakalanya rasa sayang tidak harus memilih
Biarkan kasih sayang itu terus mengalir pada orang-orang yang membutuhkan,
bukan sebatas yang bisa menyenangkan hati kita.
Biarkan rasa sayang itu terus mengalir, tanpa ada tuntutan menerima timbal balik.
Biarkan rasa sayang itu terus mengalir, tanpa pilih kasih
Karena seharusnya rasa sayang tidak harus memilih.
(Indah, Tabloid MQ/Juni 2004)

Tapak-Tapak Hikmah



Salah satu cara Allah Swt. mencintai pecinta ilmu adalah dengan mengaruniakan ilmu hikmah kepadanya, sehingga ia memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam hidupnya.

TAKTERASA, telah 18-19 tahun kita menjalani pendidikan formal. Selama itu, otak terus kita isi dengan berbagai disiplin ilmu yang kita geluti selama ini. Dalam tenggat waktu itu, sang waktu pun mengajarkan kita banyak hal. Dari mulai belajar main ayunan sewaktu TK, mengeja huruf dan menata angka-angka di SD, melalui masa-masa puber SMP-SMU hingga belajar berdebat di bangku kuliah. Hasilnya, titel sarjana kita lekatkan dalam sekian huruf nama kita.

Sahabat…
Cukupkah semua itu membuat kita patut disebut 'alim (orang berilmu)? Cukupkah selembar ijazah yang kita miliki menjawab persoalan hidup yang muncul silih berganti dalam kehidupan kita? Bukankah ketika selembar ijazah kita tawarkan dor to dor ke berbagai perusahaan –demi mengamalkan ilmu yang diperoleh selama ini, tak satu perusahaan pun menerima karena mereka mencari yang berpengalaman dan professional? Sekalipun diterima, bukankah lebih sering tidak sesuai dengan bidang keilmuan yang tertera di ijazah?

Sahabat …
Sebatas itukah arti menuntut ilmu? Sekadar memiliki selembar ijazah yang di sana terpampang nama dan titel kita? Lulus dengan predikat cumlaude dan mendapat pekerjaan dengan gaji lumayan? Jika hal itu benar, di mana sejati sang penuntut ilmu?

Sahabat …
Salah satu cara Allah Swt. mencintai pecinta ilmu adalah dengan cara memberinya ilmu hikmah, sehingga ia memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam hidupnya. Kearifan yang menjadi sifat induk akan melahirkan sifat-sifat terpuji lain, seperti mata rantai yang saling terkait. Sifat adil misalnya, akan mendorong seseorang memiliki sifat takwa, sabar, berilmu, tekad kuat, semangat dan sifat terpuji lain.

Sahabat …
Mengapa harus ilmu hikmah? Karena ilmu hikmah memiliki sentuhan-sentuhan yang berpengaruh dan begitu membekas pada pribadi seorang manusia. Seperti butiran-butiran tanah yang menumpuk lalu menjadi bukit, atau tetesan-tetesan air yang mengumpul kemudian menjadi sungai atau air terjun, atau seperti manusia yang berjalan di atas tanah, maka akan tampak padanya telapak kaki. Begitupun ilmu hikmah. Ia akan meninggalkan bekas dan pengaruh pada para pencinta ilmu. Lalu, seperti apa tapak-tapak ilmu hikmah yang membekas pada mereka? Khalil Al-Musawi dalam bukunya “Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana”, menjelaskan 5 di antaranya, yaitu ;

Pertama, kematangan akal. Artinya, akal manusia menjadi kuat, dewasa, produktif, dan mampu menjangkau berbagai urusan kehidupan yang berlaku di sekelilingnya serta mampu berpikiran logis. Bebas dari penyakit akal seperti bodoh, sophisme (kepandaian memutarbalikkan hakikat) dan penyakit lainnya.

Kedua, mengambil pelajaran. Artinya, mampu mengambil nasihat dan pelajaran dari pengalaman masa lalu untuk masa mendatang, tanpa harus memulai dari nol pada setiap urusan, melainkan dari akhir pengalaman diri atau orang lain. Dalam Al-Quran, surat Al-Mu’min ayat 21 Allah Swt berfirman, “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengadzab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari adzab Allah”.

Ketiga, melemahnya syahwat. Imam Ali as berkata, “Bilamana hikmah menguat maka syahwat melemah”. Menguatnya hikmah pada diri seseorang akan melemahkan kerakusan syahwat, baik seksual, makan dan minum, rakus pada kekayaan dan kekuasaan, serta syahwat lainnya.

Keempat, sabar meninggalkan hal-hal yang menyimpang. Orang yang bijak hakim) akan sabar menjauhi sifat tamak yang merupakan lawan dari sifat qana’ah, sifat pengecut yang merupakan lawan dari sifat dermawan, sifat takabur yang merupakan lawan dari sifat tawadhu, sifat cemas dan gelisah yang merupakan lawan dari sifat sabar dan tenang, sifat dusta yang merupakan lawan dari sifat jujur dan seterusnya.

Kelima, ketenangan dan kewibawaan. Salah satu pengaruh pada diri manusia ialah menjadikannya besar dalam pandangan orang lain, menjadikannya terhormat di sisi mereka, memiliki kepribadian yang kuat, kemampuan, kemuliaan dan pengaruh. Imam Ali as. berkata,”Barangsiapa mengetahui hikmah maka mata manusia memandangnya penuh kewibawaan dan ketenangan”.

Sahabat….
Adakah salah satu dari kelima hal di atas tampak pada diri kita? Mampukah kita menapaki ilmu hikmah? Jawabannya, semoga! Wallahua’lam. (Indah/Tabloid MQ/ Mei 2004)

Rabu, September 02, 2009

General Check-up Ruhiyah





Oleh Indah Ratnaningsih

Kalau kita tidak menghisab diri dan menyesali, serta mohon ampun kepada Allah Swt., maka di akhirat nanti semua anggota tubuh kita akan memberikan kesaksian yang tidak bisa kita elakkan.


SAKIT, sering membuat orang merasa resah. Apalagi kalau ternyata vonis dokter menyatakan kita terserang ”kanker” atau penyakit mematikan lainnya. Setiap hari selalu ada orang yang datang ke rumah sakit dengan berbagai keluhan hingga rumah sakit di mana pun tidak pernah libur dari pasien. Tidak sedikit orang mengeluh sakit, tetapi dokter merasa sulit mendiagnosa apa penyakitnya hingga general check-up menjadi alternatif untuk menemukan penyakit. Merasa tidak puas dengan pelayanan pengobatan di Indonesia, kadang orang yang berduit memilih Singapura untuk berobat. Kita rela mengeluarkan begitu banyak biaya untuk suatu penyakit yang kita derita karena takut akibat buruk dari penyakit tersebut, apalagi kalau nyawa taruhannya. Namun, pernahkah kita meresahkan ”hati” tempat merujuk baik buruknya seluruh amalan kita? Bukankah Rasulullah saw. pernah menyatakan, "Sesungguhnya suatu amalan tergantung dari niat." Sedang niat bersumber dari hati.

Sahabat....
Pernahkah kita mendengar kisah pengalaman seseorang ketika beribadah haji atau umrah? Di Mekah, betapa setiap amalan baik dan buruk sekecil apa pun, bahkan sesuatu yang baru terbertik di hati sekali pun sudah ditunjukkan balasannya secara cash oleh Allah Swt. Sombong dan ujub sekecil apa pun, kedongkolan yang baru tertambat di hati apalagi yang sampai terucap di mulut, akan langsung dirasakan akibatnya. Begitu pula kebaikan meski sekecil apa pun akan terasakan nikmatnya. Sungguh Allah Maha Membalas setiap amalan manusia. Subhanallah....tanah suci-Nya banyak memberikan hidayah pengingat akan setiap amalan manusia. Andai seluruh tempat milik Allah seperti Mekah Al Mukaramah, tentu setiap kita akan berhati-hati melakukan segala aktivitas. Andai setiap kita mampu mengontrol setiap gerakan hati agar memiliki niat yang lurus pada setiap amal, tentu berharap memiliki raport baik di akhirat bukan sekadar impian.

Sahabat...
Fenomena balasan amal manusia secara cash di Tanah Haram Mekah, di satu sisi akan terasa menakutkan bagi orang yang merasa diri banyak melakukan dosa besar. Dia akan takut pergi ke sana karena takut balasan dari Allah akan semua amal buruknya. Sehingga orang seperti ini lebih memilih menunaikan ibadah haji pada usia senja. Padahal umur manusia tidak ada yang tahu kapan akan berakhir. Bila balasan amal di dunia saja sudah sebegitu mengerikan bagi sebagian orang, tentu balasan amal manusia di akhirat nanti lebih dahsyat lagi. Aa Gym sering mengingatkan kita dalam ceramahnya bahwa bahaya terbesar dalam hidup adalah ketika kita sibuk dengan kekurangan dan kesalahan orang lain sehingga kita tidak memiliki cukup waktu untuk melihat kekurangan dan kesalahan diri. Kita pasti memiliki banyak dosa, tetapi masalah yang berbahaya bagi kita adalah ketidakberanian melihat dosa dan kesalahan diri.

Sahabat....
Setiap kita akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatan kita di akhirat nanti kepada Allah Swt. Seperti seorang pasien rumah sakit yang sedang melakukan general check-up untuk mengatahui apa penyakit yang diderita, begitupun di akhirat nanti. Seluruh anggota tubuh kita akan berbicara, melaporkan amalan apa saja yang pernah kita perbuat. Adakah nanti banyak mengumpulkan nilai kebaikan ataukah keburukan?

Sahabat....
Bila kita belum bisa menjadi seperti seorang sufi yang begitu merindukan bahkan memohon kepada Allah Swt. agar ditunjukkan dosa-dosanya setiap saat, setidaknya kita bisa terus berusaha mengevaluasi diri. Dosa apakah yang telah diperbuat oleh kedua tangan kita hari ini? Adakah mulut kita pernah melukai perasaan hati orang lain? Ke mana kita langkahkan kaki kita hari ini? Adakah kemaksiatan yang diperbuat oleh mata dan setiap bagian dari tubuh kita? Seabreg pertanyaan evalusi diri sebagai bentuk general check-up ruhiyah selayaknya terus kita lakukan.

Sahabat...
Kalau kita tidak menghisab diri dan menyesali, serta mohon ampun kepada Allah Swt., maka di akhirat nanti semua anggota tubuh kita akan memberikan kesaksian yang tidak bisa kita elakkan. Wallahua’lam. (Tabloid MQ, Sept, 2004)***

Mudik Pertama Pasangan Baru



Mudik pulang kampung memang menyenangkan, apalagi saat Idul Fitri. Karena kita akan berkumpul dengan keluarga besar yang mungkin tidak bisa kita temui selain saat liburan Idul Fitri. Meski harus bersusah payah mengantri karcis, berdesak-desakan di kendaraan bahkan menghadapi jalanan yang macet, tetap bersemangat karena terbayang akan menumpah rindu dengan keluarga.

Mudik bagi keluarga baru, pasangan baru, meski masih merasakan manisnya bulan madu, bila tidak disikapi dengan arif bisa menimbulkan masalah. Apalagi bila masing-masing pasangan bersikeras ingin berlebaran di keluarga besarnya masing-masing, sementara mereka tinggal di rantau yang jauh dari tempat asal mereka. Sebut saja Karim yang berasal dari Cianjur dengan istrinya Nety (Garut). Mereka tinggal di Garut, namun letaknya cukup jauh dari rumah orangtua Nety. Lebaran pertama mereka jalani di Cianjur. ”Lebaran tahun depan di Garut, deh.” janji Karim kepada istrinya. Tapi ternyata di tahun kedua, suaminya tetap ngotot ingin berlebaran di Cianjur. Demikian juga pada lebaran ketiga. Akhirnya, Nety mulai kesal. Mereka pun berlebaran di kota asal mereka masing-masing.

Tentu kita tidak berharap hal itu akan terjadi di rumah tangga kita. Menyikapi kasus seperti di atas, menurut Mas Amri, panggilan akrab Masrukhul Amri, MBA.Ph.D - seorang Knowledge Entrepreneur dan Konsultan Manajeman Strategik Alternatif - akan lebih baik kalau keduanya tidak mudik dulu ke rumah masing-masing. Gunakan waktu untuk berlebaran di tempat rantau untuk bersilaturahmi ke tetangga yang mungkin selama ini jarang kita kunjungi karena kesibukan kerja.

Bagi suami-istri yang terbiasa merantau sejak sebelum menikah, mudik bukan suatu masalah. Seperti Mas Amri sendiri yang asli Kediri dan beristrikan orang Bangka, kini merantau di Bandung. Mas Amri bisa berlebaran di mana saja, mana yang lebih mudah dijangkau. Apalagi ketika sudah memiliki anak yang masih kecil, hal ini harus menjadi pertimbangan. Mereka tidak bisa memaksa diri untuk mudik.

Bahkan pengasuh acara Hidup untuk Hidup di MQFM ini, kadang memilih pulang tidak pada saat Lebaran Idul Fitri. Lebaran Haji (Idul Adha) menjadi alternatif pilihan bermudik. Kebetulan, di Sumatra Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha sama ramainya. Meski kadang ada kesulitan untuk mendapatkan tiket pulang-pergi, tapi penumpang tidak sepadat seperti saat mudik Idul Fitri.

Kepada keluarga baru, Mas Amri mengingatkan bahwa menikah adalah untuk menempuh hidup baru, maka keduanya harus betul-betul siap dengan kehidupan barunya itu. Adakalanya orangtua atau mertua seperti berebut ingin anaknya pulang ke rumah mereka. Tugas kitalah untuk memberikan pemahaman kepada mereka bahwa ketidakpulangan kita bukan karena lupa pada mereka. Sebagai penawar rindu, telefonlah atau kirimi mereka kartu atau surat.

Bagi pasangan yang memang hendak mudik, penting bagi mereka untuk mendialogkan rencana mudik tersebut pada saat masih Ramadan, atau bahkan sebelum itu. Diskusikan akan berlebaran di mana. Lihat juga kondisi keuangan, alat transport, anak, oleh-oleh yang akan dibawa, dsb. Meski secara psikologis kita akan kecewa bila kenyataannya tidak sesuai dengan yang direncanakan, kita harus tetap berpikir realistis. Inti dari mudik adalah silaturahmi, maka jangan sampai tujuan silaturahmi kepada keluarga besar, malah merenggangkan silaturahmi keluarga kecil kita. Apalagi bila hanya karena tidak jadi mudik, terjadi konflik antara suami-istri. Na'uzubillahi min dzalik. (Indah/Tabloid MQ, Nov 2004)***

Selasa, September 01, 2009

Akhirnya Terbit Juga Buku Atas Namaku



SATU kebanggaan bagi seorang penulis adalah ketika buku karyanya diterbitkan dan dibaca banyak orang, syukur-syukur bisa best seller. Namun ternyata, proses ke arah sana tidaklah mudah. Butuh perjuangan dan kesabaran untuk melewati sebuah proses yang panjang.

Berawal dari hobi menulis buku harian sejak SMP, saya mulai terlatih untuk memformulasikan pemikiran dan perasaan secara lebih sistematis melalui tulisan. Ketika tidak puas menulis di buku harian, saya mulai menulis puisi. Namun, tulisan-tulisan saya ini tidak pernah saya publikasikan, hanya menjadi konsumsi pribadi. Cukup sebagai bentuk pelampiasan perasaan dan kepenatan hati.

Ketika kuliah, barulah saya mulai lebih serius menekuni dunia tulis-menulis. Saya mengikuti berbagai pelatihan jurnalistik yang digelar di kampus dan di luar kampus. Saya juga aktif di pers kampus dan mengelola buletin. Begitu lulus kuliah, saya bergabung dengan sebuah tabliod Islami di Bandung sebagai wartawan. Setelah tiga tahun malang-melintang sebagai pencari warta, saya mulai melirik dunia buku.

Tulisan pertamaku dalam bentuk buku yang terbit berjudul “Tuhan Tidak Pernah Iseng: Misteri Penyimpangan dan Pertobatan Manusia”. Penutur asli buku ini adalah Zamarey Al Bakhin sekaligus tercantum sebagai penulisnya. Sedangkan saya hanya tertulis sebagai penulis pendamping (co-writer) yang dicantumkan di halaman dalam (KDT), bukan di cover buku. Itulah risiko sebagai penulis pendamping. Buku itu berisi tentang kisah nyata seorang gay yang telah bertobat. Jadi, otomatis penulis utamalah yang paling tahu alur kehidupannya dari A to Z. saya hanya membantu menyusun bab per bab-nya sesuai alur kehidupannya dan membantu bagaimana kisahnya ini menjadi layak dibaca oleh publik. Maka wajar kalau saya hanya dicantumkan sebagai penulis pendamping.


Ketidakpuasan tentu saja ada, tetapi itulah yang memacu saya untuk terus berkarya. Akhirnya terbit buku keduaku yang berjudul “Extraordinary Wives: Kisah Istri Biasa yang Berhati Luar Biasa”. Lagi-lagi saya harus puas hanya sebagai co-writer. Buku ini merupakan kumpulan kisah nyata dari para istri yang mengalami ujian berat dalam hidup ketika mendampingi suaminya, tetapi mereka tetap bersemangat dan bersabar menjalankan perannya sebagai istri yang setia. Saya mewawancarai mereka dan menuliskannya di buku tersebut. Dari sepuluh kisah yang tertuang dalam buku tersebut saya menulis enam kisah hasil wawancara dengan para tokoh.


Di hati saya bertanya, “Kapan bukuku terbit atas namaku sendiri?” Alhamdulillah, pertanyaanku kini terjawab sudah. Buku ketigaku terbit. Judulnya “99 Bisnis Modal ≤ 10 Juta”. Buku itu tidak saya tulis sendiri, ada Nurul Hidayati yang menjadi partner saya. Selain menulis, beliau juga seorang editor dan membuka beberapa bisnis kecil-kecilan.

Konon kabarnya buku ini masuk jajaran buku Best Seller di Gramedia. Namun, berapa jumlah penjualannya saya tidak pernah tahu karena perjanjian buku ini dengan penerbit adalah jual putus. Ini menjadi pengalaman berharga bagi saya agar lebih selektif menerima order menulis buku, baik dari penerbit langsung maupun dari perusahaan jasa penulisan buku. Sistim "jual putus" dalam banyak sisi lebih banyak menguntungkan penerbit buku dibandingkan untuk penulisnya.

Meski belum memberi keuntungan secara materi, saya tidak boleh menyerah untuk terus berkarya. Lagi-lagi saya merasa tertipu meski sedikit senang. Sebuah buku beredar di pasaran dan namaku terpampang sebagai penulisnya meski saya tidak tahu-menahu tentang buku ini karena penerbit maupun pihak perusahaan jasa penulisan tidak pernah konfirmasi ke saya. Bisa jadi penerbit terinspirasi kesuksesan buku “99 Bisnis Modal ≤ 10 Juta” sehingga mereka menerbitkan buku "99 Bisnis Pensiunan" (atas nama saya bersama rekan penulis lain bernama Sigit Rais) meski tanpa konfirmasi dengan saya sebagai penulisnya (seperti tertera di cover buku tersebut). Kelegaan dan kebahagiaan saya dengan beredarnya buku atas nama saya sendiri kini beralih menjadi kekecewaan, "Kok begini mereka memperlakukan penulis buku?" Mereka hanya memikirkan keuntungan semata, tetapi tidak memikirkan perasaan saya (atau kami) para penulis. Begitu murahnya hak cipta di negeri ini dihargai. Ah, apa pun yang terjadi, saya tidak boleh surut semangat untuk terus berkarya dan berkarya membuat yang terbaik. Ayo, terus menulis.

“Ya Allah…bimbing hamba agar dapat melahirkan karya-karya yang dapat bermanfaat bagi umat. Amin” @